PENGALAMAN DALAM PENANGANAN PERCERAIAN DI BALI
Penulis yang merupakan pengacara perceraian di Bali, kerap menemui perkara cerai dimana salah satu pihak menginginkan proses perceraian dan pihak yang lain ngotot/bersikeras untuk mempertahankan rumah tangganya.
Gugatan perceraian Penggugat dewasa ini yang penulis amati, umumnya yang dijadikan alasan mengajukan gugatan cerai adalah "percekcokan yang terus menerus karena permasalahan ekonomi".
Kemudian pihak Tergugat (pihak yang ngotot/bersikeras untuk mempertahankan rumah tangganya), melakukan tangkisan dengan melakukan pembuktian bahwa yang benar adalah tidak pernah terjadi pertengkaran dan percekcokan.
Baca Juga: Biaya Pengurusan Perceraian di Bali
Dapat juga Tergugat meluruskan hal-hal lain seperti bahwa Tergugat masih berada di rumah Penggugat dan Tergugat, justru Penggugat lah yang pergi meninggalkan rumah kediaman mereka.
Perceraian dapat terjadi karena ada kematian maupun karena putusan Pengadilan. Perceraian dapat terjadi bilamana memenuhi alasan/syarat-syarat perceraian baik formil dan materiil sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
Sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 534 K/Pdt/1996, bahwa dalam hal perceraian tidak perlu dilihat dari siapa penyebab percekcokan terjadi, melainkan harus melihat apakah perkawinan antara Penggugat dan Tergugat masih dapat dipertahankan atau tidak.
Karena jika hati salah satu pihak baik Penggugat maupun Tergugat sudah pecah, maka perkawinan itu sendiri sudah pecah, maka tidak mungkin dapat dipersatukan lagi, meskipun salah satu pihak menginginkan perkawinan supaya tetap utuh.
Baca Juga: Hak Asuh Anak Pasca Perceraian
Dampak perceraian terhadap anak:
Apabila perkawinan itu dipertahankan maka pihak yang menginginkan perkawinan itu pecah, tetap akan berbuat yang tidak baik, agar perkawinan itu tetap pecah.
Bahwa yang harus dipertimbangkan Hakim adalah bilamana pertengkaran hebat antara Penggugat dan Tergugat, yang dilihat oleh anak-anaknya berkali-kali, tidak baik bagi kesehatan mental anak-anak, ingatan buruk terhadap pertengkaran yang dilihat anak-anaknya tersebut, menurut sejumlah penelitian kedokteran, diduga akan menyebabkan:
- Anak-anak menjadi stress.
- Membuat anak cemas dan beresiko mengalami depresi.
- Anak cenderung menjadi nakal.
- Anak sulit bersosialisasi dengan orang lain.
Namun disisi lain, alasan Tergugat tidak ingin berpisah/bercerai adalah adanya anak-anak kandung Penggugat dan Tergugat yang masih kecil-kecil, yang masih membutuhkan kasih sayang yang utuh dan perhatian yang penuh dari kedua orang tuanya.
Biasanya Tergugat menyatakan masih mencintai Penggugat dan bersedia memaafkan semua kesalahan-kesalahan Penggugat agar dapat hidup bersama untuk merajut kembali rumah tangga dan mengasuh bersama-sama anak-anak demi mewujudkan rumah tangga yang harmonis.
Penulis sebagai seorang Pengacara Perceraian di Bali kerap memberikan kesadaran kepada Klien bahwa anak berhak memperoleh kasih sayang yang merata dari Ayah dan Ibu Kandungnya.
Anak berhak mendapat tempat terbaik, baik untuk tumbuh kembang anak dan masa depan anak, baik hak asuh berada di pengasuhan Ibunya atau pengasuhan ayahnya.