SAH NYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BALI
Perkawinan di Bali dikenal dengan nama Pawiwahan yang dapat berarti "Patemining purusa pradana, malarapan patunggalan kayun suka-cita, kadulurin upasaksi sekala-niskala" Tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) adalah terbentuknya keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan yaitu :
- Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat 1);
- Perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2).
Perkawinan pada masyarakat Bali dikenal dengan 2 (dua) bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita masuk ke keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami masuk ke keluarha istri).
Perkawinan di Bali yang bernafaskan beragama Hindu menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang di masyarakat Bali dikenal dengan istilah "kapurusa atau purusa". Sehingga prinsip sistem kekeluargaan purusa adalah mempelai perempuan dilepaskan dari hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya (orang tua dan saudara kandungnya) untuk selanjutnya masuk secara total dalam keluarga suaminya.
Bahwa sesuai hukum adat Bali, perkawinan itu bukan urusan pribadi dari orang yang menikah, tetapi juga menjadi urusan keluarga dan adat di Bali sehingga perkawinan di Bali disertai dengan upacara-upacara adat. Upacara yang umumnya biasa disebut Mekala-kalaan (natab banten beten) atau ada yang menyebut mebyakaon. Dimana Pelaksaan upacara ini dipimpin oleh seorang pemangku yang diadakan di halaman rumah sebagai titik sentral kekuatan KalaBhucari yang dipercaya sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan.
Adapun maksud upacara ini adalah sebagai pengesahan perkawinan antara kedua mempelai dan sekaligus penyucian benih yang terkandung di dalam diri kedua mempelai. Hal ini disebabkan perkawinan (wiwaha) adat Bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang pencipta.
Semua tahapan perkawinan (wiwaha) dilakukan di rumah mempelai pria diantaranya adalah Upacara Mesegehagung, Madengen-dengen, Mewidhi Widana dan Mejauman Ngabe Tipat Bantal. Upacara perkawinan dilakukan di rumah Suami karena masyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk perkawinan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki-laki.
Perkawinan Menurut Hindu Dalam Kitab Manavadharmasastra
Sementara itu tujuan perkawinan / Wiwaha menurut agama Hindu diatur dalam kitab Manavadharmasastra, yaitu :
- Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu dharma yang harus dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai dengan ajaran Catur Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan: Dharmasastra, Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur Purusaarta, maka pada masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa, yaitu Dharma, Artha, dan Kama.
- Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana.
- Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya.