Peran Kepolisian Dalam Pencegahan dan Penanganan Konflik atau Sengketa Adat
Keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia pada satu sisi merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung atau tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat. Tetapi pada sisi lain, kondisi tersebut dapat berdampak buruk bagi kehidupan nasional apabila terdapat ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial dan ekonomi, serta ketidakterkendalian dinamika politik.
Peran Kepolisian ditegaskan Pasal 5 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni menciptakan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang aman dan tertib dan dapat bersama-sama mewujudkan kehidupan masyarakat tata tenterem kerta raharja.
Dalam menjalankan perannya Kepolisian wajib memiliki keahlian dan ketrampilan secara profesional, sejalan dengan perintah Pasal 30 ayat (4) UUD RI Tahun 1945 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Peran penegakan hukum dan HAM yang dijalankan oleh Kepolisian sedapat mungkin dipadukan dengan peran-peran Kepolisian dengan strategi Perpolisian Masyarakat (Community Policing) dengan mengedepankan penyelesaian masalah (problem solving), yakni peran pengamanan dan penertiban masyarakat, serta peran perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.
Peranan Polisi Selain Menangani Kejahatan
Kepolisian selain menangani terhadap kejahatan (repressive policing), polisi harus lebih besar perhatiannya terhadap penanganan masalah konflik sosial dan sumber-sumber konflik, dengan menganalisa problem-problem sosial sebagai masalah (problem oriented policing).
Kepolisian sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, tugasnya di tengah-tengah masyarakat obyeknya antara lain masyarakat dalam wilayah tertentu (masyarakat adat tertentu) yang didiami oleh masyarakat adat tersebut, maka potensi yang ada di masyarakat harus diupayakan pemanfaatannya agar dapat didayagunakan dalam rangka untuk mencapai tugas pokok POLRI.
Untuk itu, potensi tersebut harus diupayakan dapat berpartisipasi dalam usaha menciptakan kondisi pencegahan dengan pembentukan Pranata Adat/Pranata Sosial yang lahir dari nilai-nilai yang ditaati oleh masyarakat dan diakui keberadaannya, sehingga kekuatan pengaruhnya akan sangat besar dalam pencegahan konflik sosial tersebut.
Dalam Penanganan Konflik Sosial perlu ditingkatkan peran unit-unit kepolisian masing-masing di lapangan agar selalu bersama-sama tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian. Dalam pencegahan konflik sosial aparat kepolisian di lapangan yang terdiri dari Bhabinkamtibmas, Babinsa, aparat desa/kelurahan (Kepala Kelurahan/Desa, RW, atau RT) dengan pemuka agama, tokoh masyarakat, kaum intelektual, wira usaha, tokoh pemuda untuk membentuk pranata adat dan/atau pranata sosial untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian.
Kepolisian dapat mengedepankan peran pranata adat sehingga Kepolisian bias lebih optimal dalam penanganan konflik sosial yang terjadi di wilayah-wilayah pedesaan. Hal ini dikarenakan tiga alasan utama yaitu:
1.Anggota masyarakat adat di wilayah pedesaan memiliki ikatan serta ketaatan yang masih sangat kuat terhadap dimensi sosial pranata adat. Misal masyarakat adat Bali
2.Masyarakat wilayah pedesaan masih menempatkan kepentingan diri pada konsep kepentingan kolektif atau kebersamaan. Hal ini menyebabkan proses kemauan untuk terlibat dalam kelembagaan penyelesaian konflik oleh pranata adat.
3.Solidaritas mekanik yang menumpukan kegiatan sehari-hari pada aktivitas sosial yang terbiasakan (habituasi).