KDRT Dalam Perkara Perceraian
Apa itu KDRT
Dalam perkawinan antara suami dan istri sering terjadi perselisihan yang tidak jarang disertai dengan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu pihak dan mengakibatkan terjadinya perceraian. Salah satu alasan yang menyebabkan perceraian dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan orang lain. Ketika salah satu korban kekerasan dalam rumah tangga dan dapat menunjukkan bukti yang kuat dalam persidangan serta suami dan istri tidak bisa hidup bersama dalam sebuah rumah tangga, maka permohonan perceraian dapat diberikan sidang pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt), atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai oleh penggunaan kekuatan kepada orang lain. UU no. 23 tahun 2004, mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Ciri-ciri KDRT
Memang tidak ada definisi tunggal dan jelas yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun demikian, biasanya kekerasan dalam rumah tangga secara mendasar, meliputi:
- Kekerasan fisik, yaitu setiap perbuatan yang menyebabkan kematian;
- Kekerasan psikologis, yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, kehilanagan rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada perempuan;
- Kekerasan seksual, yaitu stiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya;
- Kekerasan ekonomi, yaitu setiap perbuatan yang membatasi orang (perempuan) untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang; atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi; atau menelantarkan anggota keluarga.
Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan oleh penulis di bawah ini, yaitu:
- Kekerasan fisik langsung dalam kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai perusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar.
- Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang berkonotasi meremehkan dan menghina, mendiamkan, menteror baik secara langsung maupun menggunakan media tertentu, berselingkuh, dan meninggalkan pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung jawab.
- Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.