ANALISA ALASAN PERCERAIAN PERSELISIHAN DAN PERTENGKARAN OLEH PENGACARA PERCERAIAN DI BALI
Ada kalanya penulis sebagai seorang pengacara perceraian di Bali mendapat pertanyaan seputar alasan perceraian yang biasanya digunakan dalam gugatan perceraian yaitu perselisihan dan pertengkaran yang terjadi secara terus menerus sebagaimana ketentuan Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1975.
Bahwa penulis sebagai seorang pengacara perceraian di Bali akan mencoba menganalisa untuk menentukan apakah suatu percekcokan atau pertengkaran itu dapat dijadikan alasan untuk melakukan perceraian.
Percekcokan atau pertengkaran dapat menjadi alasan diajukan gugatan perceraian apabila hal ini dilakukan secara terus menerus dan tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali dalam rumah tangga, sehingga pertengkaran yang bersifat insidentil yang biasa terjadi dalam setiap rumah tangga, dimana salah satu pihak masih mempunyai kemauan dan tekad untuk memulihkan kerukunan hidup rumah tangga mereka adalah tidak layak untuk dijadikan dasar untuk menyatakan perkawinan putus karena perceraian.
Baca Juga: Perceraian, Harta Bersama (Gono-Gini) dan Hak Asuh Anak
Bilamana dalam persidangan, Penggugat dapat menghadirkan bukti-bukti baik bukti Saksi maupun bukti surat, ataupun bukti lainnya yang dapat memberikan gambaran kehidupan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sering terjadi percekcokan, maka gugatan cerai dapat dikabulkan oleh Hakim.
Bukti saksi idealnya adalah saksi yang berasal dari orang terdekat baik Penggugat dan Tergugat yaitu keluarga (Paman, bibi, orang tua, saudara kandung dan lainnya). Bukti surat dapat berupa surat mediasi dari hasil rapat keluarga maupun mediasi yang dilakukan oleh Pengurus Adat di lingkungan tinggal Penggugat dan Tergugat (bila Penggugat dan Tergugat memeluk hukum adat Bali).
Penulis sebagai seorang pengacara perceraian di Bali berpandangan bahwa tidak perlu menetapkan pihak mana yang bersalah atas terjadinya percekcokan tersebut. Sebab jika hati Penggugat/salah satu pihak sudah pecah, maka perkawinan itu sendiri sudah pecah, meskipun salah satu pihak menginginkan perkawinan supaya tetap utuh. Apabila perkawinan itu dipertahankan, maka pihak yang menginginkan perkawinan itu pecah, tetap akan berbuat yang tidak baik agar perkawinan itu tetap pecah.
Penulis sebagai seorang pengacara perceraian di Bali, memberikan tafsiran mengenai pengertian cekcok yang terus menerus yang tidak dapat didamaikan lagi, bukanlah ditekankan pada penyebab cekcok yang harus dibuktikan, akan tetapi dilihat dari kenyataannya apakah benar terjadi percekcokan yang terus menerus sehingga sudah tidak dapat didamaikan lagi.
Terlebih lagi bila terdapat fakta bahwa antara Penggugat dan Tergugat sudah tinggal terpisah, maka masing-masing sudah menunjukan perceraian secara psiko-emosional sebelum bercerai secara resmi di Pengadilan, sebab masing-masing individu sudah merasa jauh secara emosional dengan pasangan hidupnya (psyco-emotional divorce), tidak ada pertemuan fisik secara tatap muka, tidak ada komunikasi satu dengan yang lainnya, acuh tak acuh alias "cuek", tidak saling perhatian satu dengan yang lainnya, hal ini menunjukkan kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat terasa hambar, kaku, tidak nyaman dan tidak bahagia.