Problematika Kasus Perceraian (Analisis Hukum Perkawinan)
Setiap harinya tentu banyak kasus yang kami, pengacara perceraian tangani, dimana tentu menarik untuk di bahas dan dianalisa secara mendalam dari perspektif hukum perkawinan.
Pasangan suami istri tentu telah berusaha maksimal dalam mempertahankan rumah tangganya namun berbagai persoalan terjadi seperti hilangnya rasa kecocokan satu dengan yang lain, permasalahan ekonomi, KDRT, Perselingkuhan, hal ini menjadi sumber problematika perceraian di Bali pada khususnya.
Alasan-alasan perceraian bila kita mengkaji dan menganalisa dalam hukum perkawinan, hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 39 s/d Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 19 menyebutkan alasan-alasan nya yaitu:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
- Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Ditemukan fakta di masyarakat, bahwa kaum perempuan/istri yang memiliki prosentase lebih banyak di banding laki-laki/suami dalam mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan.
Alasan perceraian yang utama yang dianalisa oleh Penulis, sebagaimana di dapat dari pengalaman menangani berbagai perkara perceraian di Bali adalah faktor ekonomi yang bercampur dengan aroma perselingkuhan.
Ada sebuah kasus yang menarik dimana pihak suami menikah dengan istri namun tidak mendaftarkan perkawinan nya di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Capil).
Pasangan tersebut telah memiliki seorang anak, namun anak hasil perkawinan mereka tidak dapat dibuatkan akta kelahiran dikarenakan kedua orang tuanya tidak memiliki akta perkawinan. Alasan yang diucapkan oleh pasangan suami istri tersebut karena pada perkawinan mereka dahulu tidak diwajibkan oleh perangkat desa (kelian dinas dan kelian banjar adat) untuk membuat akta perkawinan, cukup dengan surat keterangan yang di buat oleh kelian dinas dan kelian banjar adat yang diketahui oleh Kantor Kepala Desa.
Pasangan ini dengan diawali cekcok permasalahan ekonomi yang membuat mereka tinggal terpisah (pisah ranjang dan pisah rumah) masing-masing telah memiliki Idaman Lain (selingkuhan).
Menariknya WIL (wanita idaman lain) dari si suami, dikabarkan telah mengandung dan melahirkan anak, begitu juga dengan si Istri yang mengandung dan melahirkan anak dari PIL (Pria idaman lain) nya tersebut.
Anak mereka pun lahir dengan kendala yang sama yaitu tidak bisa memiliki akta kelahiran anak. Namun anehnya mereka tetap melakukan perkawinan dengan selingkuhan nya masing-masing yang mana diketahui oleh adatnya masing-masing.
Karena kepentingan mereka untuk membuat akta kelahiran anak menjadi terkendala karena tidak memiliki akta perkawinan maka kedua pasangan tersebut barulah membuat akta perkawinan sementara mereka telah menikah lagi.
Untuk kemudian si Perempuan mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan, sehingga dapat dikeluarkan akta Perceraian oleh Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Capil) setempat. Selanjutnya pasangan tersebut dapat membuat akta perkawinan dengan pasangan baru nya masing-masing.