PENGACARA PERCERAIAN DI BALI : PERTIMBANGAN HUKUM PERCERAIAN
Angka perceraian di Bali pada masa pandemik covid-19 mengalami peningkatan yang tajam. Adapun alasan diajukannya gugatan perceraian di Bali yang utama adalah faktor ekonomi dan adanya orang ketiga (WIL/PIL). Perempuan yang menggugat cerai suaminya umumnya dikarenakan si suami tidak mampu menafkahi istri maupun anak-anaknya. Bila suami yang menggugat istrinya umumnya lebih karena si Istri telah memiliki Pria Idaman Lain (PIL). Alasan-alasan perceraian tersebut sebenarnya telah diatur tegas dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
Sebagai pengacara perceraian di Bali, penulis disini mencoba meninjau berbagai berbagai aspek pertimbangan hukum Putusan Perceraian di Bali. Dinyatakan dalam Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa “untuk melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami istri tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri”
Faktor atau Alasan yang Mendasari Perceraian Banyak Terjadi
Umumnya sebab cerai baik faktor ekonomi maupun adanya orang ketiga (WIL/PIL), selalu diikuti oleh terjadinya pisah tempat tinggal atau pisah ranjang antara Penggugat dan Tergugat (suami istri). Bila kita melihat Putusan MA RI No. 1354K/Pdt/2001 Tanggal 18 September 2003 maka alasan perceraian yang disebabkan karena antara Penggugat dan Tergugat (suami istri) telah pisah tempat tinggal atau pisah ranjang, maka oleh hukum dapat dikatakan atau dapat berarti adanya pertengkaran dan perselisihan, karena tidak mungkin suami istri yang pisah tempat tinggal atau pisah ranjang tanpa adanya pertengkaran dan perselisihan, sebab diantara mereka sudah tidak saling memperdulikan satu dengan yang lainnya.
Dengan adanya pisah tempat tinggal atau pisah ranjang antara Penggugat dan Tergugat (suami istri) maka dapat diindikasikan antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi sesuatu yang menyebabkan mereka tinggal secara terpisah. Maka disini sudah ada bukti bahwa antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada ikatan bathin lagi, sehingga perkawinan yang seperti ini sudah tidak utuh lagi dan antara kedua belah pihak sudah tidak bisa disatukan kembali.
Bila dikaitkan dengan Yurisprudensi MA RI No. 534K/Pdt/1996 tanggal 18 Juni 1996 dikaitkan dengan ketentuan hukum perkawinan, maka adanya pisah tempat tinggal atau pisah ranjang, yang mengakibatkan tidak adanya komunikasi yang baik antara Penggugat dan Tergugat (suami istri), ditunjukan dengan tidak adanya tanda-tanda mau berdamai, sehingga harapan hidup rukun sebagaimana amanat UU No. 1 Tahun 1974, sudah tidak dapat tercapai.
Sehingga alasan-alasan perceraian ini telah memenuhi unsur Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian maka Majelis Hakim dapat menyatakan bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat beralasan hukum untuk dinyatakan putus karena perceraian beserta segala akibat hukumnya (Pasal 38 huruf b UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).