PENGACARA PERCERAIAN (SERBA SERBI KASUS CERAI DI BALI)
Menurut penulis yang adalah pengacara spesialis perceraian, masalah cerai pada umumnya diawali dengan percekcokan dan perselisihan tentang tuntutan ekonomi.
Banyak pasangan suami istri terutama di Bali mengalami pertengkaran dalam kehidupan rumah tangganya lantaran suami yang tidak menjalankan kewajibannya untuk menafkahi istri dan anak-anak.
Sehingga si Istri mengambil jalan untuk bekerja membanting tulang menggantikan tugas suami, demi bisa menghidupi diri sendiri dan keluarganya.
Permasalahan ekonomi tersebut dipicu dengan adanya fenomena kawin muda. Dimana pasangan yang baru tamat SMA/SMK dengan kehidupan pergaulan bebas masa kini, sehingga si perempuan hamil, yang memaksa terjadinya perkawinan yang belum pada waktunya.
Dengan lahirnya bayi, barang tentu akan menimbulkan beban ekonomi yang besar yang sulit diatasi oleh pasangan yang masih dikategorikan belum dewasa secara umur tersebut.
Bahwa perkawinan usia muda akan berdampak negatif bagi pasangan suami istri, sehingga oleh Pemerintah dilahirkanlah UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam UU 16 Tahun 2019 diatur Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Batas umur tersebut dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan sehingga diharapkan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas.
Poin penting dalam UU 16 Tahun 2019 tersebut adalah terletak pada Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”.
Ayat (2) berbunyi “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”.
Kembali pada fenomena kasus diatas, si Wanita yang bekerja menggantikan posisi suaminya bahkan ada wanita (istri) yang nekat bekerja di Luar Negri sebagai TKW, maka akan menimbulkan masalah baru.
Pertama si Istri tersebut bila kita melihat fakta di Bali, ia bertahun-tahun tidak menjalankan kewajibannya yaitu “ngayah” di banjar adat, sehingga oleh banjar adat maka ia dapat dikategorikan telah bercerai secara adat.
Terlebih lagi si suami yang mendapati si Istri di luar negeri telah mendapat kekasih yang lain, begitupula si Istri yang begitu yakin untuk berpisah atau bercerai dengan si Suami karena telah mendapatkan pujaan hati yang lebih memperhatikannya disana, serta memiliki kemampuan finansial yang cukup bisa memenuhi kebutuhannya.
Hal-hal inilah yang kerap penulis ketemukan dalam kasus-kasus perceraian di Bali pada khususnya, kendatipun ini fakta pahit namun inilah fakta yang banyak terjadi di masyarakat Bali yang memiliki pasangan bekerja di Luar Negeri.
Si Istri umumnya menghubungi pengacara perceraian untuk bisa menyelesaikan masalah cerai dan hak asuh anaknya, karena ia sedang bekerja di Luar Negeri.
Pengacara perceraian pun di Bali diminta juga untuk mengurus segala keperluan administrasi hingga pada pembuatan KTP baru yang telah berubah status menjadi cerai hidup, berikut mengurus surat pindah dan ganti KK (kartu keluarga) baru.