Pembagian Harta Gono Gini Dalam Perkara Perceraian
Perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang pria dan wanita, yang saling mencintai dan menyayangi. Sudah menjadi kebutuhan hidup mendasar, bila setiap insan akan menikah. Umumnya, setiap orang berniat untuk menikah sekali seumur hidupnya saja. Namun pada kenyataannya justru bukan demikian. Tidak sedikit pasangan suami-istri, yang akhirnya harus memilih berpisah alias bercerai. Faktor ketidakcocokan dalam sejumlah hal, berbeda persepsi serta pandangan hidup, paling tidak menjadi beberapa penyebab terjadinya perceraian.
Proses Perceraian dan Pembagian Harta Gono Gini
Memilih bercerai, berarti harus berhadapan dengan pengadilan. Sebab proses pengaduan gugatan perceraian yang sah menurut hukum, hanya dapat ditempuh melalui pengadilan saja. Persoalannya kemudian adalah banyak pasangan suami-isteri yang justru bingung sekaligus kesulitan, saat menempuh jalan proses perceraian tersebut. Faktor utamanya tentu soal hukum. Ditambah lagi proses pengajuan gugatan perceraian, yang memang pada dasarnya berbelit-belit. Bahkan tidak jarang, bila proses perceraian yang rumit menguras banyak dana.
Pasangan suami isteri biasanya baru mempersoalkan pembagian harta gono-gini setelah adanya putusan perceraian dari pengadilan. Bahkan dalam setiap proses pengadilan sering terjadi keributan tentang pembagian harta gono-gini sehingga kondisi itu semakin memperumit proses perceraian di antara mereka karena masing-masing mengklaim bahwa harta “ini dan itu” merupakan bagian atau haknya.
Sengketa harta gono-gini ini tidak dipikirkan oleh para calon pengantin yang akan menikah. Mereka hanya berpikir bahwa menikah itu untuk selamanya. Artinya, tidak berpikir sedikit pun oleh mereka bahwa suatu saat nanti perceraian itu mungkin saja terjadi. Mereka baru berpikir tentang harta gono-gini pada saat proses atau setelah terjadinya perceraian.
Harta Menurut Undang Undang Perkawinan
Menurut ketentuan undang-undang perkawinan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Secara yuridis formal dapat dipahami pengertian harta bersama adalah harta benda suami-istri yang didapatkan selama perkawinan. Sedangkan menurut KUHPerdata berdasarkan Asas maritale macht, maka dalam Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata ditentukan bahwa, “Suami sendiri harus mengurus (beheren) sendiri harta kekayaan perkawinan, tanpa campur tangan istri, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membeban. Kesimpulan dari penelitian yaitu harta benda punyak hak masing-masing tidak bisa untuk dimiliki, tidak bisa digabung. Semua harta benda yang diperoleh dari pembawaan para pihak sebelum perkawinan dapat digunakan bersama utnuk kepentingan bersama dalam rumah tangga.
Harta gono-gini adalah harta benda yang dihasilkan oleh suami istri selama masa perkawinan mereka. Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah setelah tahun 1974 diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Harta gono-gini menjadi milik bersama suami istri itu, walaupun yang bekerja hanya suami atau istri saja. Tentang sejak kapan terbentuknya harta gono-gini, ditentukan menurut rasa keadilan masing-masing pihak, namun secara umum ditentukan menurut kewajaran, bukan waktu.
Pembagian Harta Gono Gini
Pembagian harta gono-gini bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan mana hak istri.
Cara mendapatkan harta bersama atau harta gono gini adalah:
- Pembagian harta bersama dapat diajukan bersamaan dengan saat mengajukan gugat cerai dengan menyebutkan harta bersama dan bukti-bukti bahwa harta tersebut diperoleh selama perkawinan dalam “posita” (alasan mengajukan gugatan). Permintaan pembagian harta disebutkan dalam petitum (gugatan).
- Pembagian harta bersama diajukan setelah adanya putusan perceraian, artinya mengajukan gugatan atas harta bersama.
Pembagian harta gono-gini ini tidak dapat digugat oleh sembarang ahli waris apalagi orang lain. Menurut putusan Mahkamah Agung Reg. No. 258 K/Sip./1959, tanggal 8 Agustus 1959 bahwa pembagian gono-gini tidak dapat dituntut oleh orang lain dari pada anak atau istri atau suami dari yang meninggalkan gono gini. Dalam Undang-Undang Perkawinan, pengaturan harta bersama tersebut belum memperoleh penyelesaian yang tuntas. Pasal 37 menyebutkan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud dengan rumusan “hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat atau hukum-hukum lainnya”.